Sejarah
Pendirian
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal
abad ke-13 di daerah yang bernama
Tepian Batu atau
Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan
Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni
Aji Batara Agung Dewa Sakti (
1300-
1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan
Tanjung Kute dalam
Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara bagian Pulau
Tanjungnagara oleh Patih
Gajah Mada dari
Majapahit[1].
Pada
abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja
Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan
Kerajaan Kutai (atau disebut pula:
Kerajaan Kutai Martadipura atau
Kerajaan Kutai Martapura atau
Kerajaan Mulawarman) yang terletak di
Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi
Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada
abad ke-17, agama
Islam yang disebarkan
Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin
Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan
Raja diganti dengan sebutan
Sultan. Sultan
Aji Muhammad Idris
(1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan
nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi
Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura[1].
Menurut
Hikayat Banjar dan
Kotawaringin (1663), negeri Kutai merupakan salah satu
tanah di atas angin
(sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja
Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini
digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai berada di
bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian VOC dan Kesultanan Banjar
tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan
Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun
1636, Kutai diklaim oleh
Kesultanan Banjar sebagai salah satu
vazalnya
karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk
menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh
Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622)
[2]. Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazal
Kesultanan Demak (penerus
Majapahit),
tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim
upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum
perjanjian Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam
Pasir serta
Kutai,
Berau dan Karasikan (
Kepulauan Sulu/Banjar
Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain
Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin.
Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan
mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng
Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja
Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun
1638-
1654.
[3].
Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai
Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada
1765, VOC Belanda berjanji membantu
Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan
perjanjian 20 Oktober 1756.
[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh
La Maddukelleng (raja
Wajo)
yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang
sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut
tahta tetapi mengalami kegagalan.
Pada
13 Agustus 1787, Sultan Banjar
Sunan Nata Alam
membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai
daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan
yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin
diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778
Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari
Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng
Tatas dan benteng
Tabanio
kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian
wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah
dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin
sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah
Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda
dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar
[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan
Hindia Belanda dalam
Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada
1 Januari 1817 antara Sultan
Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili
Residen Aernout van Boekholzt.
[5] Perjanjian berikutnya pada tahun
1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam
Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada
13 September 1823 antara Sultan
Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias
[4].
Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar.
Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia
Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian
Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal
4 Mei 1826[4].
Pemindahan ibukota kerajaan
La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris merupakan raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar
Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi
Sultan Banjar yang berada dalam pengaruh VOC. Sultan
Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo
La Madukelleng berangkat ke tanah
Wajo,
Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan
VOC bersama rakyat
Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh
Dewan Perwalian[1].
Pada tahun
1739, Sultan
Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh
Aji Kado. Putera mahkota kerajaan
Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo
[1]. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan
Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa,
Aji Imbut
sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara
kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang
setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan
Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan
Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di
Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasat
embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan.
Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap
Pemarangan. Tahun
1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi
[1].
Pada tahun
1780,
Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi
dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin
di
istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di
Pulau Jembayan[1].
Aji Imbut dengan gelar Sultan
Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke
Tepian Pandan pada tanggal
28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan
Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi
Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan
Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini
[6].
Pada tahun
1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan
Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
Serangan kapal Inggris
Pada tahun
1844, 2 buah kapal dagang pimpinan
James Erskine Murray asal
Inggris
memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang
dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk
menjalankan
kapal uap di perairan
Mahakam. Namun
Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah
Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan
meriam
ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun
tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan
melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang
tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di antara
yang tewas tersebut
[6].
Insiden pertempuran di
Tenggarong
ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan
serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda
bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan
Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri.
Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando
t'Hooft dengan membawa
persenjataan
yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana
Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke
Kota Bangun.
Panglima perang kerajaan Kutai,
Awang Long yang bergelar
Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan
Kerajaan Kutai Kartanegara[6].
Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan
Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.
Pada tanggal
11 Oktober 1844,
Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani
perjanjian
dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan
Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di
Kalimantan yang diwakili oleh seorang
Residen yang berkedudukan di
Banjarmasin.
[7]
Tahun
1846,
H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan
[6].
Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah
Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan
Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8
[8]
Pada tahun
1850,
Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun
1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan
J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan
politik dan
ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.
[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bagian dari
de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.
[10] Pada tahun
1863,
kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan
Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai
Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Pembukaan tambang batubara pertama
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di
Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda,
J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi
eksploitasi
minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak
semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi
sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya
alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman
[6].
Tahun
1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya
Aji Mohammad dengan gelar Sultan
Aji Muhammad Alimuddin.
Pada tahun
1907, misi
Katolik pertama didirikan di
Laham, Kutai Barat. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990
Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun
1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota
Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh
Aji Pangeran Mangkunegoro.
Pada tanggal
14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan
Aji Muhammad Parikesit
namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa
kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit
Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1
lah yang berhak diangkat menjadi Sultan Kutai. dalam beberapa media juga
di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua
saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak
kontroversi dari berbagai pihak.
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat
sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada
tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap
melalui
surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun
1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.
Tahun
1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan
beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.
Kedatangan Jepang
Ketika
Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun
1942, Sultan Kutai harus tunduk pada
Tenno Heika,
Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan
Koo dengan nama kerajaan
Kooti.
Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah
Swapraja masuk ke dalam
Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti
Bulungan,
Sambaliung,
Gunung Tabur dan
Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada
27 Desember 1949 masuk dalam
Republik Indonesia Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi
Daerah Istimewa Kutai yang merupakan
daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada tahun
1959,
berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah
Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi
3 Daerah Tingkat II, yakni:
- Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
- Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
- Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal
20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda,
A.P.T. Pranoto
yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3
kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:
- A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
- Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
- A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada tanggal
21 Januari 1960
bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang
Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah
terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji
Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah
Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid
Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai
Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau
pun hidup menjadi rakyat biasa
[6].
Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara
Pada tahun
1999, Bupati Kutai Kartanegara,
Syaukani Hasan Rais
berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud
untuk menghidupkan
feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian
warisan sejarah dan
budaya Kerajaan Kutai sebagai
kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor
pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat
wisatawan nusantara maupun
mancanegara.
Pada tanggal
7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai
H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap
Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha
Jakarta
untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan
merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan
Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.
Pada tanggal
22 September 2001,
Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe
Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara
dengan gelar
Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.
Wilayah
Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara
ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah
kekuasaannya meliputi beberapa wilayah otonom yang ada di propinsi
Kalimantan Timur saat ini, yakni:
- Kabupaten Kutai Kartanegara
- Kabupaten Kutai Barat
- Kabupaten Kutai Timur
- Kota Balikpapan
- Kota Bontang
- Kota Samarinda
- Kecamatan Penajam
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.
Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah
Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II,
yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan
sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah
disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melalui UU
No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.
Keraton Kesultanan
Dokumentasi bentuk istana
Sultan Kutai hanya ada pada masa pemerintahan
Sultan A.M. Sulaiman
yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa
melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada abad ke-18.
Carl Bock, seorang penjelajah berkebangsaan
Norwegia
yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat
ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada
masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.
Setelah
Sultan Sulaiman
wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipimpin
oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami
keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman.
Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat
dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai
Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920,
keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan
kerajaan.
Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini
dibongkar karena akan digantikan dengan bangunan beton yang lebih kokoh.
Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kemudian
menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton
baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij )
Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk
menyelesaikan istana ini. Setelah fisik bangunan keraton rampung pada
tahun
1937, baru setahun kemudian yakni pada tahun
1938
keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta
keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah
dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu,
dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan
Sultan Sulaiman kemudian dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas
keraton lama ini telah diganti dengan sebuah bangunan baru yakni gedung
Serapo LPKK.
Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir pada tahun
1960, bangunan keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman
Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal
25 Nopember 1971.
Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri
dengan nama
Museum Mulawarman.
Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan
kesultanan Kutai Kartanegara, di antaranya singgasana, arca, perhiasan,
perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik
kuno dari China, dan lain-lain.
Dalam lingkungan keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan
keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan
keluarga kerajaan ini kebanyakan terbuat dari kayu besi yang dapat tahan
lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang
dimakamkan disini di antaranya adalah
Sultan Muslihuddin,
Sultan Salehuddin,
Sultan Sulaiman dan
Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di lingkungan keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah
Gunung Gandek,
Tenggarong.
Pada tanggal
22 September 2001, putra mahkota
H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan
H.A.M. Salehuddin II.
Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai
upaya untuk melestarikan warisan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan
tertua di Indonesia agar tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut
Kedaton bagi Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping
Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan
Sultan Alimuddin.
Gelar kebangsawanan
Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah
Aji.
Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam
gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai
berikut:
- Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan.
- Aji Ratu : gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan.
- Aji Pangeran : gelar bagi putera Sultan.
- Aji Puteri : gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
- Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar
ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang
sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
- Aji Bambang : gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji.
Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai
yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
- Aji : gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya
dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah
dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.
Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai
sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka
putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji
menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka
putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji
tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).
Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:
- Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
- Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji
biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.
Lihat pula
Referensi
- ^ a b c d e f - Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 1
- ^ M.
Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi,
Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
- ^ Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
- ^ a b c d (Indonesia)
Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan
Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris
dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik
Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
- ^ (Indonesia)Poesponegoro (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1.ISBN 9789794074107
- ^ a b c d e f Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2
- ^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0.ISBN 978-602-8397-21-6
- ^ (Belanda) (1849) Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n..
- ^ (Belanda) {1853) Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde. 13. hlm. 358.
- ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz. 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242.
- sumber : id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Kutai_Kartanegara_ing_Martadipura